Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau.
Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa nasional belum tentu sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk Indonesia yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk urban. Sementara itu bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah yang tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Bagaimana dengan yang lain? Sementara ada orang asing pada tahun 1998 sangat kebingungan mengartikan kata lengser keprabon yang dalam Kamus Bahasa Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk mengartikan lengser keprabon tidak sekedar pengertian definitif dalam semantik bahasa Indonesia.
Lengser keprabon (yang sekarang sudah dianggap bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain seperti “legawa”) harus dipahami dalam perspektif sejarah kebudayaan dan sistem politik Jawa. Oleh karena itu dengan mempelajari aspek psikologis budaya Jawa, penutur asing dapat memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”. Contoh lain, seperti kata “ Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba Duit” yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya Minangkabau.
Demikianlah, Indonesia sebagai sebuah “nation state” yang menurut Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity). Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian tanda budaya yang didalamnya penuh dengan perbedaan (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai pola tutur bahasa Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat Indonesia hidup di daerah industri dan berperan sebagai masyarakat industrial, masyarakat informatif, dan bagian dari masyarakat global. Di sebaran pulau-pulau Indonesia masih ditemui kebudayaan “hunting and gathering” yang terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau kecil lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan pola hidup langsung dari alam. Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis pun masih dijumpai.
Hampir semua pula di Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik dengan bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian irigasi sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris masih mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan akar primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal. Hal ini turut mengkondisikan warna kebudayaan Indonesia serta masyarakat dalam bertutur dalam bahasa Indonesia. Terlebih-lebih kondisi sekarang, saat politik memberi kesempatan desentralisasi dan hak otonom, maka semangat primordialisme dapat muncul dalam berbagai aspek salah satunya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Oleh sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal yaitu:
(a) masyarakat dalam perspektif agama
(b) perspektif spiritual
(c) perspektif budaya.
Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk
membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif.
Dalam konteks perubahan social sekarang masyarakat Indonesia dalam sekat pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social economics responsibilities, dan personal responsibility.
Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa nasional belum tentu sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk Indonesia yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk urban. Sementara itu bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah yang tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Bagaimana dengan yang lain? Sementara ada orang asing pada tahun 1998 sangat kebingungan mengartikan kata lengser keprabon yang dalam Kamus Bahasa Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk mengartikan lengser keprabon tidak sekedar pengertian definitif dalam semantik bahasa Indonesia.
Lengser keprabon (yang sekarang sudah dianggap bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain seperti “legawa”) harus dipahami dalam perspektif sejarah kebudayaan dan sistem politik Jawa. Oleh karena itu dengan mempelajari aspek psikologis budaya Jawa, penutur asing dapat memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”. Contoh lain, seperti kata “ Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba Duit” yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya Minangkabau.
Demikianlah, Indonesia sebagai sebuah “nation state” yang menurut Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity). Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian tanda budaya yang didalamnya penuh dengan perbedaan (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai pola tutur bahasa Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat Indonesia hidup di daerah industri dan berperan sebagai masyarakat industrial, masyarakat informatif, dan bagian dari masyarakat global. Di sebaran pulau-pulau Indonesia masih ditemui kebudayaan “hunting and gathering” yang terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau kecil lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan pola hidup langsung dari alam. Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis pun masih dijumpai.
Hampir semua pula di Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik dengan bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian irigasi sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris masih mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan akar primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal. Hal ini turut mengkondisikan warna kebudayaan Indonesia serta masyarakat dalam bertutur dalam bahasa Indonesia. Terlebih-lebih kondisi sekarang, saat politik memberi kesempatan desentralisasi dan hak otonom, maka semangat primordialisme dapat muncul dalam berbagai aspek salah satunya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Oleh sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal yaitu:
(a) masyarakat dalam perspektif agama
(b) perspektif spiritual
(c) perspektif budaya.
Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk
membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif.
Dalam konteks perubahan social sekarang masyarakat Indonesia dalam sekat pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social economics responsibilities, dan personal responsibility.